Beranda | Artikel
Mengenal Keluarga Rasulullah: Hasyim dan Abdul Muththalib
9 jam lalu

Setiap Nabi memiliki nasab yang mulia, demikian pula Rasulullah Muhammad ﷺ. Beliau berasal dari garis keturunan yang terhormat di tengah masyarakat Arab. Nenek moyang terdekat beliau adalah ayah, kakek, dan kakek buyut yang juga dikenal karena kemuliaan akhlak serta kedudukan mereka. Pada kesempatan ini, kita akan menelusuri kisah keluarga Rasulullah ﷺ agar kita semakin mengenal betapa agung nasab beliau dan bagaimana keluarga beliau turut berperan dalam masyarakat pada zamannya.

Mengenal Hasyim (هاشم)

Hasyim mendapat tugas menyediakan air minum (siqāyah) dan jamuan makan (rifādah) bagi jemaah haji. Latar belakang penunjukan Hasyim dapat dilihat pada artikel di tautan ini. Hasyim dikenal sebagai orang kaya dan memiliki kemuliaan yang agung. Ia adalah pelopor penyedia tsarīd (roti yang dicampur kuah daging) kepada jemaah haji di Makkah. Nama aslinya adalah ‘Amr (عمرو). Ia dijuluki Hasyim lantaran aktivitasnya meremahkan roti untuk jamuan jemaah haji. Hasyim juga orang pertama yang menetapkan dua perjalanan dagang kabilah Quraisy, yaitu perjalanan di musim dingin dan musim panas.

Dikisahkan bahwa pada suatu saat, Hasyim hendak bepergian ke Syam sebagai pedagang. Ketika ia singgah di Yatsrib, ia menikahi Salma binti ‘Amr (سلمى بنت عمرو), salah seorang wanita dari Bani ‘Adi bin Najjar (عدي بن النجار) dan menetap di sana. Kemudian ia melanjutkan perjalanannya ke Syam dalam keadaan istrinya tengah mengandung anaknya. Malangnya, Hasyim kemudian meninggal di Ghaza (غزة). Anaknya tersebut lalu lahir pada tahun 497 M dan diberi nama Syaibah (شيبة), lantaran adanya uban di kepalanya sejak kecil. Syaibah dibesarkan di Yatsrib tanpa sepengetahuan keluarga Hasyim di Makkah. Selain Syaibah, Hasyim juga memiliki tiga anak laki-laki dan lima anak perempuan.

Abdul Muththalib (عبد المطلب), sang kakek Nabi

Sepeninggal Hasyim, tugas siyāqah dan rifādah berpindah kepada saudaranya, al-Muththalib bin ‘Abdu Manaf (المطلب بن عبد مناف). Al-Muthtalib adalah seseorang yang taat dan memiliki keutamaan di antara kaum Quraisy. Ketika Syaibah tumbuh remaja, kabar tersebut sampai kepada al-Muththalib. Ia pun berangkat ke Yatsrib untuk menjemputnya. Saat bertemu dengan Syaibah, ia menangis, memeluknya, dan membawanya ke Makkah. Awalnya, ibu Syaibah enggan melepaskan Syaibah, namun al-Muthtalib berkata, “Syaibah hanya akan pergi ke negeri ayahnya, ke tanah suci Allah.” Akhirnya, ibunya mengizinkan Syaibah untuk pergi. Ketika al-Muththalib sampai ke Makkah dengan membonceng Syaibah, orang-orang menyangka ia adalah budak milik al-Muththalib. Sehingga disebutlah “Abdul Muththalib”. Al-Muththalib membantah mereka dan menyatakan bahwa ia adalah anak dari Hasyim. Syaibah tinggal bersama al-Muththalib sampai dewasa.

Tatkala al-Muththalib meninggal, kepemimpinan berpindah kepada Abdul Muththalib. Ia meneruskan tradisi mulia leluhurnya dan mendapatkan kedudukan terhormat di tengah kaumnya melebihi para pendahulunya. Dua peristiwa paling penting pada masa kepemimpinannya adalah penggalian kembali sumur Zamzam dan peristiwa pasukan bergajah.

Kisah penemuan sumur Zamzam

Suatu ketika, Abdul Muththalib bermimpi diperintahkan untuk menggali sumur Zamzam. Posisi sumur Zamzam tergambarkan di dalam mimpinya. Lantas ia segera bangun dan mulai menggali hingga menemukannya. Selain air Zamzam, ia juga menemukan benda-benda peninggalan kabilah Jurhum yang terkubur tatkala mereka diusir dari Makkah.

Benda-benda peninggalan tersebut berupa banyak pedang dan baju zirah, serta dua patung rusa dari emas. Pedang-pedang temuan itu lalu dijadikan pintu Ka’bah, dua patung rusa ditempelkan di pintu Ka’bah, dan air Zamzam dibagikan untuk jemaah haji.

Ketika sumur Zamzam ditemukan, kaum Quraisy berselisih dengan Abdul Muththalib. Mereka ingin berkongsi terkait air Zamzam ini. Namun, Abdul Muththalib menolak dan menyatakan bahwa ini adalah perkara yang dikhususkan untuknya. Kaum Quraisy tidak menyerah lalu membawa perkara ini kepada seorang dukun wanita dari Bani Sa’d untuk diadili. Di tengah perjalanan ke dukun itu, Allah memperlihatkan tanda yang menegaskan bahwa Zamzam adalah kekhususan Abdul Muththalib. Akhirnya, kaum Quraisy tidak jadi melakukannya. Pada saat itu, Abdul Muththalib bernazar jika ia memiliki sepuluh anak laki-laki dan mereka telah cukup kuat untuk melindungiku, niscaya ia benar-benar akan menyembelih salah satu anaknya itu di Ka’bah.

Peristiwa pasukan bergajah

Peristiwa pasukan bergajah diawali dengan adanya tokoh bernama Abrahah (أبرهة), seorang wakil Raja Najasyi di Yaman. Ketika Abrahah melihat bahwa bangsa Arab berhaji ke Ka’bah, ia juga mendirikan gereja besar di Shan’a’ (صنعاء). Ia berambisi mengalihkan arah ibadah bangsa Arab dari Ka’bah ke gereja buatannya. Kabar tersebut terdengar oleh seorang lelaki dari Bani Kinanah (بني كنانة) dan membuatnya marah. Akhirnya, ia masuk ke gereja pada malam hari lalu mengotori kiblat gereja dengan tinja.

Tatkala Abrahah mengetahui kejadian tersebut, ia sangat murka dan bertekad akan menghancurkan Ka’bah. Ia berangkat dengan pasukan besar berjumlah sekitar enam puluh ribu orang serta membawa gajah-gajah besar, termasuk seekor gajah terbesar yang menjadi tunggangannya sendiri. Pasukan tersebut terus bergerak hingga tiba di Wadi Muhassir (وادي محسر), daerah antara Muzdalifah (المزدلفة) dan Mina (منى). Sesampainya di sana, gajah tersebut menderum enggan bergerak menuju Ka’bah. Setiap kali gajah diarahkan ke selain Ka’bah, ia segera bangkit dan berlari. Namun, jika gajah diarahkan menuju Ka’bah, ia kembali menderum tidak bergerak.

Di saat itulah Allah mengutus burung berbondong-bondong yang melempari pasukan itu dengan batu dari tanah terbakar sehingga Allah menjadikannya bagaikan dedaunan yang dimakan ulat. Setiap burung membawa tiga buah batu sebesar biji kacang. Pasukan yang terkena batu tersebut pasti anggota badannya terputus dan binasa. Pasukan itu berlarian dan saling bertubrukan di setiap jalan. Adapun Abrahah, Allah menimpakan kepadanya suatu penyakit yang menyebabkan ujung-ujung jarinya rontok. Ia berusaha kembali ke Shan’a’ dalam keadaan sangat lemah bagaikan anak burung dan berakhir dengan dadanya yang terbelah dan jantungnya keluar lalu mati.

Pada peristiwa tersebut, orang-orang Quraisy mengungsi ke lembah-lembah dan puncak-puncak gunung karena takut terkena murka pasukan Abrahah. Namun, setelah Allah menurunkan azab kepada pasukan tersebut, mereka kembali ke rumah-rumah mereka dengan aman. Peristiwa tersebut terjadi pada bulan Muharam, 55 hari sebelum lahirnya Nabi Muhammad ﷺ, bertepatan dengan akhir Februari atau awal Maret tahun 571 M.

Dari kisah Hasyim dan Abdul Muththalib, kita melihat bagaimana Allah menjaga garis keturunan Rasulullah ﷺ dengan penuh kehormatan. Keduanya bukan sekadar tokoh dalam sejarah, melainkan bagian dari rencana Ilahi untuk menyiapkan datangnya Nabi terakhir. Setelah dua sosok agung ini, kisah keluarga Rasulullah ﷺ berlanjut kepada sang ayahanda, Abdullah bin Abdul Muththalib.

Baca juga: Mengenal Bagaimana Rasulullah Duduk dan Bersandar

***

Penulis: Fajar Rianto

Artikel Muslim.or.id

 

Referensi:

Disarikan dari Kitab ar-Rahīq al-Makhtūm karya Syekh Shafiyurrahmān al-Mubārakfūri dengan perubahan.


Artikel asli: https://muslim.or.id/110258-mengenal-keluarga-rasulullah-hasyim-dan-abdul-muththalib.html